The
Great Wall adalah
film sejarah yang suatu waktu pernah kita harap diajarkan oleh guru IPS di SD
dulu, alih-alih ceramah mengenai Phitecanthropus erectus yang
membuat senjata dari batu. Ceritanya mengenai sejarah Tembok Besar Cina yang
ternyata bukan dibangun untuk mengatasi serbuan dari kaum barbar Mongol,
melainkan invasi monster buas. “The Great Wall with Monsters” mungkin judul
yang lebih tepat. Benar kan? Sejarah menjadi lebih menarik jika ditambahkan
dengan kata “monster”. Film kolosal ini merupakan produk kolaborasi Cina dengan Amerika. Dengan
pasar sinema Cina yang berkembang begitu pesat (terlebih tahun ini), bukan hal
mengherankan saat Hollywood berusaha mencari cara untuk memanfaatkan momen
tersebut.
Berbeda
dengan pelajaran sejarah, film ini akan memancing kita untuk banyak bertanya
mengenai perkembangan plotnya, apalagi bagi anda yang merupakan penonton
kritis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebaiknya disimpan, karena sama seperti
premisnya yang mustahil, akan ada banyak hal-hal tak masuk akal yang terjadi
disini. Yang pertama misalnya, kenapa monster ini hanya menyerang setiap 60
tahun sekali?
Sungguh waktu yang sial bagi William dan Tovar , tentara bayaran dari Eropa yang berkunjung untuk mencari “bubuk hitam” ke negeri Tirai Bambu ini. Setelah dikejar oleh bandit, mereka tertahan di Tembok Besar dan ditawan oleh pasukan penjaga Tembok, Orde Tak Bernama (iya, itu namanya). Pasukan ini tengah mempersiapkan diri untuk menahan gempuran makhluk buas bernama Tao Tei. Tao Tei adalah salah satu dari beberapa monster brainless kreasi CGI terbaik dalam semesta film monster. Desainnya menarik, punya detil luar biasa dan terdefinisikan dengan tajam. Bentuknya semacam kadal raksasa berwarna hijau dan karena jumlahnya ribuan, tentu bakal ada adegan yang menampilkan mereka bergerombol, yang bagusnya tak terlihat artifisial layaknya kebanyakan blockbuster. Alih-alih mereka terkesan organik dan menyatu dengan latar depan atau saat berinteraksi dengan para aktor. Tentu saja saya tahu mereka dibuat dengan komputer, namun saat menonton tak tampak kentara. Tim efek visualnya benar-benar kompeten.
Sungguh waktu yang sial bagi William dan Tovar , tentara bayaran dari Eropa yang berkunjung untuk mencari “bubuk hitam” ke negeri Tirai Bambu ini. Setelah dikejar oleh bandit, mereka tertahan di Tembok Besar dan ditawan oleh pasukan penjaga Tembok, Orde Tak Bernama (iya, itu namanya). Pasukan ini tengah mempersiapkan diri untuk menahan gempuran makhluk buas bernama Tao Tei. Tao Tei adalah salah satu dari beberapa monster brainless kreasi CGI terbaik dalam semesta film monster. Desainnya menarik, punya detil luar biasa dan terdefinisikan dengan tajam. Bentuknya semacam kadal raksasa berwarna hijau dan karena jumlahnya ribuan, tentu bakal ada adegan yang menampilkan mereka bergerombol, yang bagusnya tak terlihat artifisial layaknya kebanyakan blockbuster. Alih-alih mereka terkesan organik dan menyatu dengan latar depan atau saat berinteraksi dengan para aktor. Tentu saja saya tahu mereka dibuat dengan komputer, namun saat menonton tak tampak kentara. Tim efek visualnya benar-benar kompeten.
Waktu 60 tahun tak disia-siakan oleh Kaisar Cina.
Pasukan ini sudah dipersiapkan dengan baik dan mungkin mendapat kucuran dana
melimpah melihat bagaimana mereka semua dibekali dengan senjata canggih serta
kostum mentereng. Jumlahnya juga tak main-main. Di satu momen, mereka terlihat
memenuhi Tembok. Bagaimana cara mengorganisir tentara sebanyak ini? Bagaimana
makannya? Mandinya? Tak penting. Mereka terbagi dalam hierarki khusus: pasukan
hitam adalah kavaleri, merah adalah pemanah dan biru... uhm adalah tentara
wanita yang melakukan sesuatu yang jelas lebih berbahaya dibanding tentara
lain.
Setelah
menunjukkan kelihaian menggunakan senjata dalam menangani seekor Tao Tei,
William mulai dipercaya oleh para jenderal yang diantaranya adalah Komandan Lin
dan Penasehat Wang, yang tentu saja mahir berbahasa Inggris. Mereka
menginginkan bantuannya. Namun masih terbersit keinginan untuk menyelundupkan
semua “bubuk hitam” yang ada di gudang tentara, apalagi dengan bisikan dari
Ballard.
Plot
adalah hal yang tak begitu diperhatikan disini; ia formulatif. Anda bisa
menebak perkembangan alurnya dari menit awal. Percakapan berada di level dialog
yang mendasar (saat akan mengambil potongan tangan monster, Damon berujar “Aku
akan mengambil tangannya”). Namun jika yang ingin dijual oleh The Great
Wall hanyalah visual mengagumkan, Zhang Yimou berhasil dengan
spektakuler. Film ini terlihat dan terasa seperti blockbuster mahal Hollywood.