Makalah
Pengetahuan Lingkungan
Perubahan
Ekosistem Hutan Menjadi Kebun Kelapa Sawit

Oleh :
Ade Frima
30413132
JURUSAN
TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS
TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
DEPOK
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lingkungan di Indonesia menyangkut tanah, air, dan
udara dalam wilayah negara Republik Indonesia. Semua media lingkungan hidup
tersebut merupakan wadah tempat kita tinggal, hidup serta bernafas. Namun, lama-kelamaan lingkungan hidup terkikis oleh ulah manusia, baik karena
eksploitasi hutan yang berlebihan, pembakaran hutan, dan pengalih fungsian hutan sebagai lahan perkebunan yang
hanya menguntungkan beberapa pihak saja.
Eksploitasi hutan yang selama ini
dilakukan secara berlebihan melalui sistem hak pengusahaan hutan (HPH) dan
konversi hutan untuk pengembangan pertanian, khususnya perkebunan telah
mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah.Kerusakan hutan juga
terjadi di hutan konservasi dan hutan lindung (Kartodihardjo & Supriono, 1999).
Dalam UU perkebunan pasal 13 ayat (1),
Bab IV tentang Pemberdayaan dan Pengolahan Usaha Perkebunan yang berbunyi “Usaha
perkebunan dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia oleh pelaku usaha
perkebunan baik pekebun maupun perusahaan perkebunan” seolah-olah mengizinkan pelaku usaha
perkebunan diperbolehkan menggunakan lahan manapun diseluruh Indonesia dan
tidak ada larangan untuk wilayah tertentu, juga tanpa batasan yang jelas. Hal
ini terlihat jelas bahwa pemerintah melonggarkan pergerakan pelaku eksploitasi
hutan yang mengalihkan fungsi hutan sebagai wadah bagi beragam jenis flora
untuk kepentingan bisnis saja.
Secara umum perubahan ekosistem hutan menjadi perkebunanan
sawit ini menyebabkan gangguan di mana-mana, yang paling merasakan akibatnya secara
langsung adalah penduduk yang bermukim di kawasan atau sekitar kawasan hutan.
Rusak atau hilangnya hutan, bukan saja dapat mengakibatkan gangguan lingkungan
hayati, tapi juga secara langsung dapat mengganggu kehidupan sosial ekonomi dan
budaya masyarakat perdeesaan hutan. Mereka yang tadinya mendapatkan bahan
makanan dari jenis-jenis tumbuhan atau satwa liar dengan secara bebas di hutan,
akan kehilangan sumber kehidupannya.
Jika perubahan ekosistem hutan menjadi
perkebunan sawit ini terus berlanjut, maka kekayaan hutan di Indonesia akan
semakin berkurang, begitu juga varietas flora di dalamnya dan fauna tidak lagi memiliki tempat yang cukup untuk
hidup dan berkembang biak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Hutan dan Kebun Kelapa Sawit di Indonesia
Semua
hutan di Indonesia dikuasai oleh negara. Berdasarkan UUD 1945, hanya negara yang berwenang
menentukan untuk apa dan oleh siapa hutan dikelola. Akibatnya, banyak
konglomerat raksasa, pejabat-pejabat militer dan rekan-rekan bisnis mantan
Presiden Soeharto beserta keluarganya mendominasi sebagian terbesar dari
kekayaan hutan Indonesia. “Data statistik Kementerian Negara Lingkungan Hidup
menunjukkan suatu tingkat kerusakan hutan antara 2 juta dan 2,4 juta hektar per
tahun. Angka kerusakan tertinggi terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
WALHI menyatakan bahwa tingkat kerusakan hutan adalah sebesar 3 juta ha/tahun;
maka tinggal 40 juta hektar yang tersisa, dan hutan Kalimantan - yang memiliki
tingkat penenebangan kayu tertinggi – akan habis dalam 5 tahun.” (Renstra,
2001).
Keadaan
hutan-hutan RI jauh lebih parah daripada yang diakui pemerintah pada era
Soeharto. Selama bertahun-tahun, pemerintah secara resmi menggunakan angka 143
juta hektar untuk lahan hutan seakan-akan berupa hutan asli, padahal setiap
tahun hampir satu juta hektar hutan
lenyap. Peringatan kelompok-kelompok LSM Indonesia yang menyoroti masalah
kerusakan hutan tak dihiraukan, padahal laporan yang disusun untuk FAO dan
pemerintah Indonesia mengakui tingkat kerusakan hutan lebih dari 1,2 juta
ha/tahun pada 1991 (Dick, 1991).
Pada
tahun 1999 WWF memperkirakan tingkat pembabatan hutan sebesar 2,4 juta ha per
tahun, meningkat dari 900.000 ha pada akhir 1980-an, sedangkan Hasanu Simon,
seorang professor kehutanan Indonesia yang disegani, mengatakan tingkat
kerusakan hutan kemungkinan sebesar 2,5 juta ha/tahun. Indonesia kehilangan 17%
hutan antara tahun 1985 dan 1997.Hanya sekitar 17 juta ha hutan yang ‘secara
komersial aktif’ diperkirakan masih ada pada 1996 dan 5 juta ha (30%)-nya telah
diperuntukkan bagi konversi. Lebih dari itu, bidangbidang luas tanah hutan yang
masih tersisa terdapat di Papua Barat, tetapi aksesnya sulit dan di sana
tuntutan rakyat untuk merdeka kuat (WWF, 1999).
Kelapa
sawit adalah komoditas primadona Indonesia sekarang ini. Ini dibuktikan dengan
besarnya kontribusi kelapa sawit terhadap ekspor, produk domestik bruto (PDB),
peningkatan pendapatan pekebun, penyerapan tenaga kerja. Produksi sawit
Indonesia mencapai 17,4 juta ton dalam kawasan 6,7 juta hektar, dan ekspornya
mencapai 11 juta ton CPO (crude palm oil) senilai US$ 6,2 milyar, menjadikan
Indonesia sebagai produsen terbesar sawit di dunia. Namun demikian pembangunan
perkebunan kelapa sawit juga berdampak negatif kalau dilakukan secara
sembarangan. Dampak ini dapat merusak lingkungan, keragaman hayati, dan bahkan
merusak budaya masyarakat setempat.
Banyak
spesies hewan dan tumbuhan Indonesia sekarang ini terancam kepunahan akibat
penggundulan dan degradasi hutan. Para ilmuwan meramalkan bahwa orang-utan
(pongo pygmaeus) akan menghadapi kepunahan dalam waktu satu atau dua dasawarsa
mendatang apabila konservasi spesies tidak dapat dilaksanakan secara
efektif[21]. Kurang dari 25.000 orang utan diperkirakan masih hidup di rimba:
lebih kurang 15.000 di Borneo dan hanya sekitar 5.000 sampai 8.000 di Sumatra.
Keanekaragaman jenis juga berkurang separuhnya dalam dasawarsa terakhir.Hanya
ada 50 sampai 60 badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) tersisa di Indonesia dan
hanya di Taman Nasional Ujung Kulon di Jawa Barat. Gajah Asia di Sumatra
terancam punah jika komposisi padang rumput dan hutan yang merupakan habitat yang
mereka sukai terus dihancurkan. Populasi yang masih ada diperkirakan antara
2.500 dan 4.000. Persaingan jumlah populasi manusia dan gajah paling menonjol
di Riau dan Lampung di mana habitat dengan cepat dikonversi menjadi ladang
pertanian, sawah, dan perkebunan kelapa sawit dan gula untuk memperoleh
pendapatan ekspor. Macan Sumatra (Panthera tigris sumatrae) kemungkinan segera
menyusul macan-macan Jawa dan Bali menuju kepunahan: Hanya ada sekitar ekor
yang tersisa. Perburuan dan perusakan habitat hutan adalah penyebab utama
penurunan ini.Pulau Sulawesi—zona hayati peralihan antara Asia dan
Australasia—memiliki jenis endemik tertinggi di dunia.Burung hantu, burung
enggang, kakatua, babirusa, kerbau kerdil atau anoa, kera, kuskus dan burung
maleo, semuanya terancam kepunahan. Wilayah sengketa Papua Barat adalah tempat
tinggal sekurang-kurangnya 27 jenis burung cenderawasih, yang kebanyakan
terancam. Masyarakat setempat mengatakan adanya keterlibatan oknum pejabat
militer yang korup didalam menyelundupkan burung-burung itu.Burung-burung
tersebut sering digunakan sebagai sogokan untuk mengamankan jabatan atau
promosi jabatan dan juga diberikan sebagai suvenir kepada pejabat pemerintah
dan militer Indonesia.Burung-burung tersebut juga terancam kehilangan tempat
tinggal karena adanya penebangan kayu, pertambangan dan pemukiman. Taman
Nasional merupakan perlindungan penting bagi jenis-jenis yang terancam. Tetapi
di sana pun, kebakaran hutan dan penebangan kayu illegal mengurangi luas
cakupan hutan dan mengikis keanekaragaman hayati. Sejumlah taman nasional
seperti Tanjung Puting di Kalimantan Tengah, Gunung Leuser di utara Sumatra,
Kutai di Kalimantan Timur dan Kerinci-Seblat di Sumatra Selatan dan Barat telah
mengalami kerusakan berat.
Pembangunan
kelapa sawit di Indonesia telah menyebabkan konflik, pelanggaran hak asasi
manusia dan pencurian tanah masyarakat; pembangunan itu juga telah memicu
kebakaran besar yang menghancurkan hutan, memberikan pengaruh signifikan
terhadap perubahan iklim dan kesehatan manusia. Namun permintaan internasional
yang terus menerus akan minyak sawit untuk makanan, kosmetik – dan sekarang
industri energi – mengakibatkan dampak tersebut sepertinya akan tetap bertahan,
karena Indonesia mendorong laju perluasan kebun kelapa sawit di seluruh
nusantara. Setelah seratus tahun tanaman ini berada di Indonesia, jelas sekali
mengapa perluasan perkebunan ini harus berhenti sekarang (Gautam, 2000).
Seabad
sudah perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sejak pembukaan kebun komersial
pertama di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh pada tahun 1911.
Indonesia kini menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia dengan kebun sawit
seluas 8.036.431 hektar yang tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Ledakan kelapa sawit mulai terjadi pada tahun 1990-an, tetapi landasannya telah
dipersiapkan satu dekade sebelumnya.Selama tahun 1980-an, Bank Dunia dan ADB
mendanai beberapa proyek perkebunan kelapa sawit, beriringan dengan dukungan
untuk program transmigrasi pemerintah Indonesia. Legislasi pendukungnya memastikan
bahwa para keluarga miskin dari Jawa, Bali dan Madura dipindahkan ke
Kalimantan, Sumatra dan ‘pulau-pulau luar’ yang dijadikan sasaran lainnya untuk
membuka wilayah hutan dan menjadi sumber buruh murah bagi perusahaan industri
perkebunan, sementara insentif finansial ditawarkan kepada
perusahaan-perusahaan kelapa sawit (Kartodihardjo, 2001).

2.2 Proses Perubahan Ekosistem Hutan menjadi
Perkebunan Kelapa Sawit dan Proses Hukum Di Dalamnya
Menurut Tjut Suganda, kerusakan
hutan Indonesia sudah sangat massif dalam tiga puluh tahun terakhir. Salah satu
sebabnya, makin banyaknya daerah yang membuka izin pembukaan lahan perkebunan
kelapa sawit.Bahkan termasuk kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak
luput dari dampak izin pembukaan lahan kelapa sawit tersebut.Hutan taman nasional Tesso Nilo di Riausekitar 60
persen luas hutannya sudah menjadi kebun sawit. Tidak mudah mengembalikan lahan perkebunan kelapa
sawit untuk menjadi kawasan hutan kembali. Satu-satunya jalan adalah menutup
peluang penambahan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru.Menurutnya ini
membutuhkan tindakan tegas menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sitti
Nurbaya.Dia mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan
Perikanan yang mengambil langkah tegas menyelamatkan sumber daya laut dengan
melarang kapal-kapal asing mengambil ikan secara ilegal.Oleh karena itu,
Menteri KLHK meniru langkah serupa dibidang kehutanan.

Pembakaran lahan merupakan modus termudah dan
termurah untuk membuka perkebunan sawit.
Dari Penelitian Sawit Watch (2007), disinyalir kuat bahwa
90% perkebunan sawit di Indonesia melakukan praktek konversi secara ilegal
(baik hutan dan lahan). Perkebunan sawit, dalam peraturannya baru dapat
melakukan kegiatan budidaya pertanian setelah mendapatkan HGU.
Permasalahan Penerapan Hukum Dan Kebijakan
1. Daya
penegakan kebijakan masih lemah (hukum dan penegak hukum)
2.
Lemahnya Komitmen Penguasa (Pemerintah dan Pengusaha).
3.
Ketimpangan kepentingan dalam penerapan kebijakan
4.
Kepentingan Pemerintah atas Kebijakan Pelepasan Kawasan Hutan untuk
Pengembangan Perkebunan Besar
5.
Dominasi Kepentingan Pengusaha atas Penerapan Kebijakan Pelepasan Kawasan Hutan
2.3 Latar Belakang Terjadinya Perubahan
Ekosistem Hutan Menjadi Kebun Kelapa Sawit
Perubahan ekosistem hutan yang
dilakukan oleh segelintir orang (pemodal besar) terus berlanjut. Bahkan
aktivitas perusakan ini juga melibatkan pejabat, aparat, dan masyarakat
setempat. Mereka dijadikan sebagai alat oleh pemodal besar untuk memuluskan
kepentingan ekonominya mengeksploitasi hutan tanpa mempertimbangkan dampak
sosial dan ekologinya. Konsekuensinya, upaya untuk menyelamatkan hutan di
negeri ini sangatlah sulit. Karena banyak pihak yang terlibat dan diuntungkan
dari aktivitas perusakan hutan, yang sebenarnya untuk kepentingan sesaat.
Kerusakan hutan pun akhirnya semakin parah dari tahun ke tahun. Dari
133.300.543,98 hektar luas hutan Indonesia, sekitar 21 persen (26 juta hektar)
telah hancur. Diperikan lebih dari 1 juta hektar hutan di Indonesia mengalami
kerusakan setiap tahunnya. Laju kerusakan hutan paling parah terjadi di
Kalimantan dan Sumatera. Di Sumatera, lebih dari 500.000 hektar mengalami
kerusakan setiap tahunnya. Kerusakan hutan ini terjadi di semua daerah mulai
dari Aceh, Sumatera Utara (Sumut), Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Lampung.
Provinsi Jambi dan Riau merupakan
daerah di mana laju kerusakan hutannya paling parah. Provinsi Jambi yang
dulunya memiliki hutan seluas 2,2 juta hekatar, kini tersisa sekitar 500.000
hektar karena telah berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, hutan
tanaman industri (HTI), dan kawasan pertambangan. Bahkan sejak tahun 2011,
lebih dari 1 juta hektar hutan produksi dan hutan produksi terbatas dialihkan
menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri. Kemudian di Riau,
kerusakan hutan sejak tahun 2011 diperkirakan sekitar 200.000 hektar.
Benar-benar mengerikan. Demi kepentingan ekonomi segelintir orang yang
difasilitasi oleh para pejabat, semua hutan terus dirusak. Bahkan taman
nasional pun ikut dirusak. Dari 43 taman nasional di Indonesia dengan luas 12,3
juta hektar, 30 persen diantaranya telah rusak parah. Padahal itu sudah jelas
menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional. Tapi lagi-lagi, demi kepentingan ekonomi, peraturan pun
dilanggar. Aparat pun tidak berdaya, karena sudah terjadi tabrakan kepentingan
(Rivel,2015).
Dari enam taman nasional di
Sumatera, semuanya dalam kondisi krisis. Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh dan
Sumut) telah rusak seluas 112. 100 hektar, Taman Nasional Teso Nilo (Riau)
seluas 28.500 hektar, Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Jambi) seluas 1.000
hektar, Taman Nasional Kerinci Seblat (Jambi) seluas 200.000 hektar, Taman
Nasional Berbak (Jambi) seluas 32.000 hektar, Taman Nasional Bukit Duabelas
(Jambi) seluas 3.000 hektar, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Lampung)
seluas 61.000 hektar. Jika dijumlah, maka kerusakan taman nasional di Sumatera
adalah seluas 437.600 hektar. Taman-taman nasional lain yang di luar Sumatera
pun bernasib sama. Memang kerusakan hutan bukan hanya disebabkan oleh
kepentingan investor dari alih fungsi hutan untuk perkebunan, pertambangan, dan
HTI. Tetapi juga karena pembalakan liar, permukiman penduduk, dan pembangunan
jalan. Meskipun demikian, alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan
menjadi penyebab utama kerusakan hutan. Taman nasional pun ikut dialihfungsikan
seperti di Kawasan Ekosistem Leuser yang telah beroperasi 40 perusahaan
pertmabangan dan 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pihak yang paling
diuntungkan dari kerusakan hutan ini adalah para konglomerat. Sementara mereka
yang ikut terlibat dalam aktivitas perusakan hutan ini seperti perambah,
pemberi izin, dan pelindung keamanan, hanya memperoleh “recehan-recehan” dari
keuntungan para konglomerat yang berlipat-lipat bahkan berkuadrat-kuadrat.
Kemudian pemilik modal (asing) tersebut benar-benar dimanjakan oleh pejabat di
negeri ini. Seolah-olah pejabat menjadi satuan pengaman aktivitas ekonomi mereka (Rivel,2015).
Perlu ditekankan, keuntungan dari
pengurasan kekayaan hutan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang
(konglomerat) yang sifatnya jangka pendek. Kontribusi yang mereka berikan untuk
perekonomian nasional dan bagi kesejahteraan rakyat di sekitar hutan tidak
sebanding dengan kekayaan melimpah yang mereka peroleh. Justru negara dirugikan
karena pengelakan pajak hutan. Anehnya, di saat hutan kita sedang dalam krisis,
justru pemerintah pusat dan daerah saling melempar tanggng jawab. Bahkan lebih
parahnya, sejumlah pemerintah daerah mengusulkan alih fungsi hutan menjadi
areal penggunaan lain kepada Kementerian Kehutanan. Di Sumatera Utara misalnya,
pemerintah daerah mengusulkan perubahan status hutan seluas 564.200,36 hektar
untuk menjadi kawasan bukan hutan (Kompas, 16/4/2012). Ini menjadi sebuah
pertanyaan besar, siapa yang berkepentingan di balik ini. Jika ini dikabulkan,
maka kerusakan hutan akan semakin parah (Rivel,2015).
2.4 Dampak Yang Ditimbulkan
dari Perubahan Ekosistem Hutan Menjadi Kebun Kelapa Sawit
Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak
positif dan dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah
meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa negara,
memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, dan daya
saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.
Selain dampak positif ternyata juga memberikan dampak
negatif. Secara ekologis sistem monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah
merubah ekosistem hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan
hujan tropis, serta plsama nutfah, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan. Selain
itu juga mengakibatkan hilangnya sejumlah sumber air, sehingga memicu
kekeringan, peningkatan suhu, dan gas rumah kaca yang mendorong terjadinya
bencana alam. Secara sosial juga sering menimbulkan terjadinya konflik antara
perusahaan dengan masyarakat sekitar baik yang disebabkan oleh konflik
kepemilikan lahan atau karena limbah yang dihasilkan oleh industri kelapa
sawit. Limbah yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit merupakan salah satu
bencana yang mengintip, jika pengelolaan limbah tidak dilakukan secara
baik dan profesional, mengingat industri kelapa sawit merupakan industri yang
sarat dengan residu hasil pengolahan
2.5 Gagasan dan Solusi
yang Dapat Ditawarkan
Dalam pembahasan
dibawah disertai juga solusi sebagai alternatif untuk menanggulangi dampak
buruk yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit.
1.
Aspek Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit
Pertumbuhan sub-sektor kelapa sawit telah menghasilkan
angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi
kepentingannya untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan
areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman
terhadap keberadaan hutan Indonesia karena pengembangan areal perkebunan kelapa
sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi.
Konversi hutan alam masih terus berlangsung hingga
kini bahkan semakin menggila karena nafsu pemerintah yang ingin menjadikan
Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Demi mencapai
maksudnya tadi, pemerintah banyak membuat program ekspansi wilayah kebun meski
harus mengkonversi hutan.
Akibat deforetasi bisa dipastikan Indonesia mendapat
ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga
menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu praktek
konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit telah
menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar
berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi
pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan.
2.
Aspek Sosial Budaya
Pembangunan sebagai proses kegiatan yang berkelanjutan
memiliki dampak yang luas bagi kehidupan Masyarakat. Dampak tersebut meliputi
perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap ekosistem, yaitu terganggunya
keseimbangan lingkungan alam dan kepunahan keanekaragaman hayati(biodiversity). Terhadap kehidupan
Masyarakat, dapat membentuk pengetahuan dan pengalaman yang akan membangkitkan
kesadaran bersama bahwa mereka adalah kelompok yang termaginalisasi dari suatu
proses pembangunan atau kelompok yang disingkirkan dari akses politik, sehingga
menimbulkan respon dari Masyarakat yang dapat dianggap mengganggu jalannya
proses pembangunan.
Paradigma pembangunan pada era otonomi daerah
memposisikan Masyarakat sebagai subjek pembangunan yang secara dinamik dan
kreatif didorong untuk terlibat dalam proses pembangunan, sehingga terjadi
perimbangan kekuasaan (power sharing)
antara pemerintah dan Masyarakat. Dalam hal ini, kontrol dari Masyarakat
terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan menjadi sangat penting untuk
mengendalikan hak pemerintah untuk mengatur kehidupan Masyarakat yang cenderung
berpihak kepada pengusaha dengan anggapan bahwa kelompok pengusaha memiliki
kontribusi yang besar dalam meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan
nasional.
3.
Aspek Ekonomi Perkebunan Kelapa Sawit
Komoditas kelapa sawit memegang peran yang cukup
strategis karena komoditas ini mempunyai prospek yang cukup cerah sebagai
sumber devisa. Disamping itu minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak
goreng yang banyak dipakai diseluruh dunia, sehingga secara terus menerus mampu
menjaga stabilitas harga minyak sawit. Komoditas ini mampu pula menciptakan
kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat.
Bagi Pemerintah Daerah komoditas kelapa sawit memegang
peran yang cukup penting sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) selain itu
membuka peluang kerja yang besar bagi Masyarakat setempat yang berada disekitar
lokasi perkebunan yang dengan sendirinya akan meningkatkan kesejahteraan
Masyarakat. Komoditas perkebunan yang dikembangkan di Kalimantan Tengah
tercatat 14 jenis tanaman, dengan karet dan kelapa sebagai tanaman utama
perkebunan rakyat, dan kelapa sawit sebagai komoditi utama perkebunan besar
yang dikelola oleh pengusaha perkebunan baik sebagai Perkebunan Besar Swasta
Nasional/Asing ataupun PIR-Bun (perusahaan inti rakyat perkebunan) dan KKPA
(Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Kondisi hutan di Indonesia saat ini mengalami
penurunan karena adanya alih fungsi hutan.Di beberapa jenis hutan dan letak
geografis tertentu, tingkat lenyapnya hutan lebih besar daripada di tempat
lain. Banyak spesies hewan dan tumbuhan Indonesia sekarang ini terancam
kepunahan akibat penggundulan dan degradasi hutan. Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak
positif dan dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah
meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa negara,
memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, dan daya
saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri. Selain
dampak positif ternyata juga memberikan dampak negatif. Secara ekologis sistem
monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem hutan,
hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, sejumlah
spesies tumbuhan dan hewan.
3.2 Saran
Sebaiknya diadakan
perundingan atau penyelesaian masalah ini dengan duduk bersama dan mencari
solusi terhadap permasalah-permasalahan tersebut adalah hal yang wajib
dilakukan oleh Asosiasi Pengusaha Perkebunan Sawit Indonesia (APPSI) bersama
dengan Masyarakat, Pemerintah dan Lembaga Lingkungan Hijau Dunia, karena tidak
dapat dipungkiri bahwa perkebunan kelapa sawit menibulkan dampak negative yang
cukup luas, akan tetapi dampak positifnya pun sangat besar terhadap
perekonomian daerah dan Negara. Dengan duduk bersama, diharapkan dapat
menghasilkan solusi untuk menekan dampak negatif yang ditimbulkan oleh
perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Djohan, Tjut Sugadawaty. 2014. Peneliti UGM :
Pembukaan Hutan Untuk Lahan Sawit Harus Dihentikan.Mongabay.co.id. Diakses tanggal 28 Maret
2016.
Dick.
1991. Hutan Konversi. Kalimantan:
Pers Com.
Gautam.
2000. The Challenges of World Bank
Involvement In Forest. Indonesia: Report World Bank.
Kartodihardjo.2001.
Lahan Kritis dalam Kawasan Hutan.
Jakarta: Tempo.
Renstra.2001.
Hutan Indonesia yang Hilang. Jakarta:
Jakarta Post.
Rivel, Jhon. 2015. Merusak Hutan Demi
Kepentingan Sesaat. Sumber :
http://www.kompasiana.com/rivel/merusak-hutan-demi-kepentingan-sesaat_5512c468813311c019bc5f9a
WWF.
1999. Ministry of Environment.
Indoneisa: Forest World Bank.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar