Rabu, 08 Juni 2016

Perubahan Ekosistem Hutan Menjadi Kebun Kelapa Sawit

Makalah Pengetahuan Lingkungan
Perubahan Ekosistem Hutan Menjadi Kebun Kelapa Sawit


Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhR9tasToReZh_mPbQtVtNlB9fIURO7dy1Nub2THitp1Op8uQpQKTNv2asdKqBGAfOIIyXxO_kf1uZyI7N5-jt5g9Q4fJHp5Y00zYj5PJxkaJ_tW8G8nEjXk-J0MfXS-S0gAhsmW3L9jC-h/s760/logo_gunadarma2.jpg

Oleh :
Ade Frima
30413132



JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang   
      Lingkungan di Indonesia menyangkut tanah, air, dan udara dalam wilayah negara Republik Indonesia. Semua media lingkungan hidup tersebut merupakan wadah tempat kita tinggal, hidup serta bernafas. Namun, lama-kelamaan lingkungan hidup terkikis oleh ulah manusia, baik karena eksploitasi hutan yang berlebihan, pembakaran hutan, dan pengalih fungsian hutan sebagai lahan perkebunan yang hanya menguntungkan beberapa pihak saja.
    Eksploitasi hutan yang selama ini dilakukan secara berlebihan melalui sistem hak pengusahaan hutan (HPH) dan konversi hutan untuk pengembangan pertanian, khususnya perkebunan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah.Kerusakan hutan juga terjadi di hutan konservasi dan hutan lindung (Kartodihardjo & Supriono, 1999).
   Dalam UU perkebunan pasal 13 ayat (1), Bab IV tentang Pemberdayaan dan Pengolahan Usaha Perkebunan yang berbunyi “Usaha perkebunan dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia oleh pelaku usaha perkebunan baik pekebun maupun perusahaan perkebunan”  seolah-olah mengizinkan pelaku usaha perkebunan diperbolehkan menggunakan lahan manapun diseluruh Indonesia dan tidak ada larangan untuk wilayah tertentu, juga tanpa batasan yang jelas. Hal ini terlihat jelas bahwa pemerintah melonggarkan pergerakan pelaku eksploitasi hutan yang mengalihkan fungsi hutan sebagai wadah bagi beragam jenis flora untuk kepentingan bisnis saja.
    Secara umum perubahan ekosistem hutan menjadi perkebunanan sawit ini menyebabkan gangguan di mana-mana, yang paling merasakan akibatnya secara langsung adalah penduduk yang bermukim di kawasan atau sekitar kawasan hutan. Rusak atau hilangnya hutan, bukan saja dapat mengakibatkan gangguan lingkungan hayati, tapi juga secara langsung dapat mengganggu kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat perdeesaan hutan. Mereka yang tadinya mendapatkan bahan makanan dari jenis-jenis tumbuhan atau satwa liar dengan secara bebas di hutan, akan kehilangan sumber kehidupannya.
   Jika perubahan ekosistem hutan menjadi perkebunan sawit ini terus berlanjut, maka kekayaan hutan di Indonesia akan semakin berkurang, begitu juga varietas flora di dalamnya dan fauna tidak lagi memiliki tempat yang cukup untuk hidup dan berkembang biak.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Hutan dan Kebun Kelapa Sawit di Indonesia
Semua hutan di Indonesia dikuasai oleh negara. Berdasarkan UUD 1945, hanya negara yang berwenang menentukan untuk apa dan oleh siapa hutan dikelola. Akibatnya, banyak konglomerat raksasa, pejabat-pejabat militer dan rekan-rekan bisnis mantan Presiden Soeharto beserta keluarganya mendominasi sebagian terbesar dari kekayaan hutan Indonesia. “Data statistik Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan suatu tingkat kerusakan hutan antara 2 juta dan 2,4 juta hektar per tahun. Angka kerusakan tertinggi terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir. WALHI menyatakan bahwa tingkat kerusakan hutan adalah sebesar 3 juta ha/tahun; maka tinggal 40 juta hektar yang tersisa, dan hutan Kalimantan - yang memiliki tingkat penenebangan kayu tertinggi – akan habis dalam 5 tahun.” (Renstra, 2001).
Keadaan hutan-hutan RI jauh lebih parah daripada yang diakui pemerintah pada era Soeharto. Selama bertahun-tahun, pemerintah secara resmi menggunakan angka 143 juta hektar untuk lahan hutan seakan-akan berupa hutan asli, padahal setiap tahun hampir  satu juta hektar hutan lenyap. Peringatan kelompok-kelompok LSM Indonesia yang menyoroti masalah kerusakan hutan tak dihiraukan, padahal laporan yang disusun untuk FAO dan pemerintah Indonesia mengakui tingkat kerusakan hutan lebih dari 1,2 juta ha/tahun pada 1991 (Dick, 1991).
Pada tahun 1999 WWF memperkirakan tingkat pembabatan hutan sebesar 2,4 juta ha per tahun, meningkat dari 900.000 ha pada akhir 1980-an, sedangkan Hasanu Simon, seorang professor kehutanan Indonesia yang disegani, mengatakan tingkat kerusakan hutan kemungkinan sebesar 2,5 juta ha/tahun. Indonesia kehilangan 17% hutan antara tahun 1985 dan 1997.Hanya sekitar 17 juta ha hutan yang ‘secara komersial aktif’ diperkirakan masih ada pada 1996 dan 5 juta ha (30%)-nya telah diperuntukkan bagi konversi. Lebih dari itu, bidangbidang luas tanah hutan yang masih tersisa terdapat di Papua Barat, tetapi aksesnya sulit dan di sana tuntutan rakyat untuk merdeka kuat (WWF, 1999).
Kelapa sawit adalah komoditas primadona Indonesia sekarang ini. Ini dibuktikan dengan besarnya kontribusi kelapa sawit terhadap ekspor, produk domestik bruto (PDB), peningkatan pendapatan pekebun, penyerapan tenaga kerja. Produksi sawit Indonesia mencapai 17,4 juta ton dalam kawasan 6,7 juta hektar, dan ekspornya mencapai 11 juta ton CPO (crude palm oil) senilai US$ 6,2 milyar, menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar sawit di dunia. Namun demikian pembangunan perkebunan kelapa sawit juga berdampak negatif kalau dilakukan secara sembarangan. Dampak ini dapat merusak lingkungan, keragaman hayati, dan bahkan merusak budaya masyarakat setempat.
Banyak spesies hewan dan tumbuhan Indonesia sekarang ini terancam kepunahan akibat penggundulan dan degradasi hutan. Para ilmuwan meramalkan bahwa orang-utan (pongo pygmaeus) akan menghadapi kepunahan dalam waktu satu atau dua dasawarsa mendatang apabila konservasi spesies tidak dapat dilaksanakan secara efektif[21]. Kurang dari 25.000 orang utan diperkirakan masih hidup di rimba: lebih kurang 15.000 di Borneo dan hanya sekitar 5.000 sampai 8.000 di Sumatra. Keanekaragaman jenis juga berkurang separuhnya dalam dasawarsa terakhir.Hanya ada 50 sampai 60 badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) tersisa di Indonesia dan hanya di Taman Nasional Ujung Kulon di Jawa Barat. Gajah Asia di Sumatra terancam punah jika komposisi padang rumput dan hutan yang merupakan habitat yang mereka sukai terus dihancurkan. Populasi yang masih ada diperkirakan antara 2.500 dan 4.000. Persaingan jumlah populasi manusia dan gajah paling menonjol di Riau dan Lampung di mana habitat dengan cepat dikonversi menjadi ladang pertanian, sawah, dan perkebunan kelapa sawit dan gula untuk memperoleh pendapatan ekspor. Macan Sumatra (Panthera tigris sumatrae) kemungkinan segera menyusul macan-macan Jawa dan Bali menuju kepunahan: Hanya ada sekitar ekor yang tersisa. Perburuan dan perusakan habitat hutan adalah penyebab utama penurunan ini.Pulau Sulawesi—zona hayati peralihan antara Asia dan Australasia—memiliki jenis endemik tertinggi di dunia.Burung hantu, burung enggang, kakatua, babirusa, kerbau kerdil atau anoa, kera, kuskus dan burung maleo, semuanya terancam kepunahan. Wilayah sengketa Papua Barat adalah tempat tinggal sekurang-kurangnya 27 jenis burung cenderawasih, yang kebanyakan terancam. Masyarakat setempat mengatakan adanya keterlibatan oknum pejabat militer yang korup didalam menyelundupkan burung-burung itu.Burung-burung tersebut sering digunakan sebagai sogokan untuk mengamankan jabatan atau promosi jabatan dan juga diberikan sebagai suvenir kepada pejabat pemerintah dan militer Indonesia.Burung-burung tersebut juga terancam kehilangan tempat tinggal karena adanya penebangan kayu, pertambangan dan pemukiman. Taman Nasional merupakan perlindungan penting bagi jenis-jenis yang terancam. Tetapi di sana pun, kebakaran hutan dan penebangan kayu illegal mengurangi luas cakupan hutan dan mengikis keanekaragaman hayati. Sejumlah taman nasional seperti Tanjung Puting di Kalimantan Tengah, Gunung Leuser di utara Sumatra, Kutai di Kalimantan Timur dan Kerinci-Seblat di Sumatra Selatan dan Barat telah mengalami kerusakan berat.
Pembangunan kelapa sawit di Indonesia telah menyebabkan konflik, pelanggaran hak asasi manusia dan pencurian tanah masyarakat; pembangunan itu juga telah memicu kebakaran besar yang menghancurkan hutan, memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan iklim dan kesehatan manusia. Namun permintaan internasional yang terus menerus akan minyak sawit untuk makanan, kosmetik – dan sekarang industri energi – mengakibatkan dampak tersebut sepertinya akan tetap bertahan, karena Indonesia mendorong laju perluasan kebun kelapa sawit di seluruh nusantara. Setelah seratus tahun tanaman ini berada di Indonesia, jelas sekali mengapa perluasan perkebunan ini harus berhenti sekarang (Gautam, 2000).
Seabad sudah perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sejak pembukaan kebun komersial pertama di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh  pada tahun 1911. Indonesia kini menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia dengan kebun sawit seluas 8.036.431 hektar yang tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Ledakan kelapa sawit mulai terjadi pada tahun 1990-an, tetapi landasannya telah dipersiapkan satu dekade sebelumnya.Selama tahun 1980-an, Bank Dunia dan ADB mendanai beberapa proyek perkebunan kelapa sawit, beriringan dengan dukungan untuk program transmigrasi pemerintah Indonesia. Legislasi pendukungnya memastikan bahwa para keluarga miskin dari Jawa, Bali dan Madura dipindahkan ke Kalimantan, Sumatra dan ‘pulau-pulau luar’ yang dijadikan sasaran lainnya untuk membuka wilayah hutan dan menjadi sumber buruh murah bagi perusahaan industri perkebunan, sementara insentif finansial ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan kelapa sawit (Kartodihardjo, 2001).

http://suratrakyat.com/wp-content/uploads/2015/05/kebun_sawit.jpg
Lahan kebun sawit (Sumber: www.kompas.com)

2.2 Proses Perubahan Ekosistem Hutan menjadi Perkebunan Kelapa Sawit dan Proses Hukum Di Dalamnya
Menurut Tjut Suganda, kerusakan hutan Indonesia sudah sangat massif dalam tiga puluh tahun terakhir. Salah satu sebabnya, makin banyaknya daerah yang membuka izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit.Bahkan termasuk kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak luput dari dampak izin pembukaan lahan kelapa sawit tersebut.Hutan taman nasional Tesso Nilo di Riausekitar 60 persen luas hutannya sudah menjadi kebun sawit. Tidak mudah mengembalikan lahan perkebunan kelapa sawit untuk menjadi kawasan hutan kembali. Satu-satunya jalan adalah menutup peluang penambahan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru.Menurutnya ini membutuhkan tindakan tegas menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sitti Nurbaya.Dia mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengambil langkah tegas menyelamatkan sumber daya laut dengan melarang kapal-kapal asing mengambil ikan secara ilegal.Oleh karena itu, Menteri KLHK meniru langkah serupa dibidang kehutanan.

http://cdn.tmpo.co/data/2013/02/26/id_169596/169596_620.jpg
Pembakaran lahan merupakan modus termudah dan termurah untuk membuka perkebunan sawit.

Dari Penelitian Sawit Watch (2007), disinyalir kuat bahwa 90% perkebunan sawit di Indonesia melakukan praktek konversi secara ilegal (baik hutan dan lahan). Perkebunan sawit, dalam peraturannya baru dapat melakukan kegiatan budidaya pertanian setelah mendapatkan HGU.
Permasalahan Penerapan Hukum Dan Kebijakan
1. Daya penegakan kebijakan masih lemah (hukum dan penegak hukum)
2. Lemahnya Komitmen Penguasa (Pemerintah dan Pengusaha).
3. Ketimpangan kepentingan dalam penerapan kebijakan
4. Kepentingan Pemerintah atas Kebijakan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Perkebunan Besar
5. Dominasi Kepentingan Pengusaha atas Penerapan Kebijakan Pelepasan Kawasan Hutan

2.3 Latar Belakang Terjadinya Perubahan Ekosistem Hutan Menjadi Kebun Kelapa Sawit 
Perubahan ekosistem hutan yang dilakukan oleh segelintir orang (pemodal besar) terus berlanjut. Bahkan aktivitas perusakan ini juga melibatkan pejabat, aparat, dan masyarakat setempat. Mereka dijadikan sebagai alat oleh pemodal besar untuk memuluskan kepentingan ekonominya mengeksploitasi hutan tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologinya. Konsekuensinya, upaya untuk menyelamatkan hutan di negeri ini sangatlah sulit. Karena banyak pihak yang terlibat dan diuntungkan dari aktivitas perusakan hutan, yang sebenarnya untuk kepentingan sesaat. Kerusakan hutan pun akhirnya semakin parah dari tahun ke tahun. Dari 133.300.543,98 hektar luas hutan Indonesia, sekitar 21 persen (26 juta hektar) telah hancur. Diperikan lebih dari 1 juta hektar hutan di Indonesia mengalami kerusakan setiap tahunnya. Laju kerusakan hutan paling parah terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Di Sumatera, lebih dari 500.000 hektar mengalami kerusakan setiap tahunnya. Kerusakan hutan ini terjadi di semua daerah mulai dari Aceh, Sumatera Utara (Sumut), Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Lampung.
Provinsi Jambi dan Riau merupakan daerah di mana laju kerusakan hutannya paling parah. Provinsi Jambi yang dulunya memiliki hutan seluas 2,2 juta hekatar, kini tersisa sekitar 500.000 hektar karena telah berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan kawasan pertambangan. Bahkan sejak tahun 2011, lebih dari 1 juta hektar hutan produksi dan hutan produksi terbatas dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri. Kemudian di Riau, kerusakan hutan sejak tahun 2011 diperkirakan sekitar 200.000 hektar. Benar-benar mengerikan. Demi kepentingan ekonomi segelintir orang yang difasilitasi oleh para pejabat, semua hutan terus dirusak. Bahkan taman nasional pun ikut dirusak. Dari 43 taman nasional di Indonesia dengan luas 12,3 juta hektar, 30 persen diantaranya telah rusak parah. Padahal itu sudah jelas menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Tapi lagi-lagi, demi kepentingan ekonomi, peraturan pun dilanggar. Aparat pun tidak berdaya, karena sudah terjadi tabrakan kepentingan (Rivel,2015).  
Dari enam taman nasional di Sumatera, semuanya dalam kondisi krisis. Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh dan Sumut) telah rusak seluas 112. 100 hektar, Taman Nasional Teso Nilo (Riau) seluas 28.500 hektar, Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Jambi) seluas 1.000 hektar, Taman Nasional Kerinci Seblat (Jambi) seluas 200.000 hektar, Taman Nasional Berbak (Jambi) seluas 32.000 hektar, Taman Nasional Bukit Duabelas (Jambi) seluas 3.000 hektar, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Lampung) seluas 61.000 hektar. Jika dijumlah, maka kerusakan taman nasional di Sumatera adalah seluas 437.600 hektar. Taman-taman nasional lain yang di luar Sumatera pun bernasib sama. Memang kerusakan hutan bukan hanya disebabkan oleh kepentingan investor dari alih fungsi hutan untuk perkebunan, pertambangan, dan HTI. Tetapi juga karena pembalakan liar, permukiman penduduk, dan pembangunan jalan. Meskipun demikian, alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan menjadi penyebab utama kerusakan hutan. Taman nasional pun ikut dialihfungsikan seperti di Kawasan Ekosistem Leuser yang telah beroperasi 40 perusahaan pertmabangan dan 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pihak yang paling diuntungkan dari kerusakan hutan ini adalah para konglomerat. Sementara mereka yang ikut terlibat dalam aktivitas perusakan hutan ini seperti perambah, pemberi izin, dan pelindung keamanan, hanya memperoleh “recehan-recehan” dari keuntungan para konglomerat yang berlipat-lipat bahkan berkuadrat-kuadrat. Kemudian pemilik modal (asing) tersebut benar-benar dimanjakan oleh pejabat di negeri ini. Seolah-olah pejabat menjadi satuan pengaman aktivitas ekonomi mereka (Rivel,2015).  
Perlu ditekankan, keuntungan dari pengurasan kekayaan hutan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang (konglomerat) yang sifatnya jangka pendek. Kontribusi yang mereka berikan untuk perekonomian nasional dan bagi kesejahteraan rakyat di sekitar hutan tidak sebanding dengan kekayaan melimpah yang mereka peroleh. Justru negara dirugikan karena pengelakan pajak hutan. Anehnya, di saat hutan kita sedang dalam krisis, justru pemerintah pusat dan daerah saling melempar tanggng jawab. Bahkan lebih parahnya, sejumlah pemerintah daerah mengusulkan alih fungsi hutan menjadi areal penggunaan lain kepada Kementerian Kehutanan. Di Sumatera Utara misalnya, pemerintah daerah mengusulkan perubahan status hutan seluas 564.200,36 hektar untuk menjadi kawasan bukan hutan (Kompas, 16/4/2012). Ini menjadi sebuah pertanyaan besar, siapa yang berkepentingan di balik ini. Jika ini dikabulkan, maka kerusakan hutan akan semakin parah (Rivel,2015).

2.4 Dampak Yang Ditimbulkan dari Perubahan Ekosistem Hutan Menjadi Kebun Kelapa Sawit
Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan  produktivitas, dan daya saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.
Selain dampak positif ternyata juga memberikan dampak negatif. Secara ekologis sistem monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta plsama nutfah, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan. Selain itu juga mengakibatkan hilangnya sejumlah sumber air, sehingga memicu kekeringan, peningkatan suhu, dan gas rumah kaca yang mendorong terjadinya bencana alam. Secara sosial juga sering menimbulkan terjadinya konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar baik yang disebabkan oleh konflik kepemilikan lahan atau karena limbah yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit. Limbah yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit merupakan salah satu bencana yang mengintip, jika pengelolaan limbah tidak dilakukan secara  baik dan profesional, mengingat industri kelapa sawit merupakan industri yang sarat dengan residu hasil pengolahan

2.5 Gagasan dan Solusi yang Dapat Ditawarkan
Dalam pembahasan dibawah disertai juga solusi sebagai alternatif untuk menanggulangi dampak buruk yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit.
1.      Aspek Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit
Pertumbuhan sub-sektor kelapa sawit telah menghasilkan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi kepentingannya untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan Indonesia karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi.
Konversi hutan alam masih terus berlangsung hingga kini bahkan semakin menggila karena nafsu pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Demi mencapai maksudnya tadi, pemerintah banyak membuat program ekspansi wilayah kebun meski harus mengkonversi hutan.
Akibat deforetasi bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu praktek konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan.

2.      Aspek Sosial Budaya
Pembangunan sebagai proses kegiatan yang berkelanjutan memiliki dampak yang luas bagi kehidupan Masyarakat. Dampak tersebut meliputi perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap ekosistem, yaitu terganggunya keseimbangan lingkungan alam dan kepunahan keanekaragaman hayati(biodiversity). Terhadap kehidupan Masyarakat, dapat membentuk pengetahuan dan pengalaman yang akan membangkitkan kesadaran bersama bahwa mereka adalah kelompok yang termaginalisasi dari suatu proses pembangunan atau kelompok yang disingkirkan dari akses politik, sehingga menimbulkan respon dari Masyarakat yang dapat dianggap mengganggu jalannya proses pembangunan.
Paradigma pembangunan pada era otonomi daerah memposisikan Masyarakat sebagai subjek pembangunan yang secara dinamik dan kreatif didorong untuk terlibat dalam proses pembangunan, sehingga terjadi perimbangan kekuasaan (power sharing) antara pemerintah dan Masyarakat. Dalam hal ini, kontrol dari Masyarakat terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan menjadi sangat penting untuk mengendalikan hak pemerintah untuk mengatur kehidupan Masyarakat yang cenderung berpihak kepada pengusaha dengan anggapan bahwa kelompok pengusaha memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan nasional.

3.      Aspek Ekonomi Perkebunan Kelapa Sawit
Komoditas kelapa sawit memegang peran yang cukup strategis karena komoditas ini mempunyai prospek yang cukup cerah sebagai sumber devisa. Disamping itu minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng yang banyak dipakai diseluruh dunia, sehingga secara terus menerus mampu menjaga stabilitas harga minyak sawit. Komoditas ini mampu pula menciptakan kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat.
Bagi Pemerintah Daerah komoditas kelapa sawit memegang peran yang cukup penting sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) selain itu membuka peluang kerja yang besar bagi Masyarakat setempat yang berada disekitar lokasi perkebunan yang dengan sendirinya akan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat. Komoditas perkebunan yang dikembangkan di Kalimantan Tengah tercatat 14 jenis tanaman, dengan karet dan kelapa sebagai tanaman utama perkebunan rakyat, dan kelapa sawit sebagai komoditi utama perkebunan besar yang dikelola oleh pengusaha perkebunan baik sebagai Perkebunan Besar Swasta Nasional/Asing ataupun PIR-Bun (perusahaan inti rakyat perkebunan) dan KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya).




BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1  Kesimpulan
Kondisi hutan di Indonesia saat ini mengalami penurunan karena adanya alih fungsi hutan.Di beberapa jenis hutan dan letak geografis tertentu, tingkat lenyapnya hutan lebih besar daripada di tempat lain. Banyak spesies hewan dan tumbuhan Indonesia sekarang ini terancam kepunahan akibat penggundulan dan degradasi hutan. Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan  produktivitas, dan daya saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri. Selain dampak positif ternyata juga memberikan dampak negatif. Secara ekologis sistem monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan.

3.2  Saran
Sebaiknya diadakan perundingan atau penyelesaian masalah ini dengan duduk bersama dan mencari solusi terhadap permasalah-permasalahan tersebut adalah hal yang wajib dilakukan oleh Asosiasi Pengusaha Perkebunan Sawit Indonesia (APPSI) bersama dengan Masyarakat, Pemerintah dan Lembaga Lingkungan Hijau Dunia, karena tidak dapat dipungkiri bahwa perkebunan kelapa sawit menibulkan dampak negative yang cukup luas, akan tetapi dampak positifnya pun sangat besar terhadap perekonomian daerah dan Negara. Dengan duduk bersama, diharapkan dapat menghasilkan solusi untuk menekan dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia.













DAFTAR PUSTAKA

Djohan, Tjut Sugadawaty. 2014. Peneliti UGM : Pembukaan Hutan Untuk Lahan Sawit Harus Dihentikan.Mongabay.co.id. Diakses tanggal 28 Maret 2016.
Dick. 1991. Hutan Konversi. Kalimantan: Pers Com.
Gautam. 2000. The Challenges of World Bank Involvement In Forest. Indonesia: Report World Bank.
Kartodihardjo.2001. Lahan Kritis dalam Kawasan Hutan. Jakarta: Tempo.
Renstra.2001. Hutan Indonesia yang Hilang. Jakarta: Jakarta Post.
Rivel, Jhon. 2015. Merusak Hutan Demi Kepentingan Sesaat. Sumber : http://www.kompasiana.com/rivel/merusak-hutan-demi-kepentingan-sesaat_5512c468813311c019bc5f9a 
WWF. 1999. Ministry of Environment. Indoneisa: Forest World Bank.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar